Sosok Pangeran Diponegoro: Pejuang Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional
Reporter
Binti Nikmatur
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
01 - Sep - 2024, 06:54
JATIMTIMES - Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama asli Bendara Raden Mas Antawirya, lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785. Ia adalah putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III, pemimpin Kesultanan Yogyakarta.
Meskipun sebagai anak sulung, ia tidak ditunjuk menjadi putra mahkota karena ibunya bukan istri utama. Namun, hal ini tidak mengurangi pengaruh dan wibawa Diponegoro di kalangan masyarakat.
Baca Juga : Neng Laili Abidah: Perempuan Pejuang PKB Resmi Dilantik sebagai Anggota DPRD Jatim
Mengutip sejarah-indonesia, sejak muda, Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang sangat religius dan memiliki pandangan hidup yang sederhana. Ia memilih hidup di desa bersama rakyat daripada menikmati kemewahan istana. Sikapnya yang teguh dalam menjalankan ajaran agama Islam dan komitmennya pada keadilan menjadikan Diponegoro sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat.
Pada awal abad ke-19, Hindia Belanda semakin menekan rakyat pribumi dengan kebijakan pajak dan perampasan tanah. Pangeran Diponegoro merasa geram melihat ketidakadilan ini.
Puncaknya terjadi pada tahun 1825 ketika Belanda memutuskan untuk membangun jalan di atas tanah leluhur Diponegoro tanpa izin, yang memicu kemarahan besar dan menjadi awal mula perlawanan.
Diponegoro merasa perjuangannya bukan sekadar pembelaan pribadi, melainkan jihad untuk membebaskan tanah Jawa dari penjajahan. Perjuangannya kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa, yang berlangsung dari 1825 hingga 1830.
Perang Diponegoro adalah salah satu perlawanan terbesar dalam sejarah melawan kolonialisme Belanda. Dalam peperangan yang berlangsung lima tahun ini, banyak golongan masyarakat ikut terlibat, mulai dari petani hingga ulama dan bangsawan.
Diponegoro menggunakan strategi gerilya yang memanfaatkan medan alam pegunungan dan hutan di Jawa, yang sangat menyulitkan pasukan Belanda meski mereka memiliki teknologi militer yang lebih maju.
Perang ini menyebabkan kerugian besar, baik bagi rakyat Jawa maupun pihak Belanda. Diperkirakan sekitar 200.000 orang meninggal dalam konflik ini.
Baca Juga : Sunan Gunung Jati dan Nyimas Kawunganten: Kisah Cinta yang Melahirkan Kesultanan Banten
Selain korban jiwa, perang ini juga memberikan pukulan besar secara finansial bagi Belanda. Akibatnya, Belanda mulai mengubah taktik mereka, salah satunya dengan menggunakan strategi "pecah belah dan kuasai," memecah kekuatan pendukung Diponegoro dan menjalin aliansi dengan bangsawan lokal yang tidak sepenuhnya mendukung perjuangan Diponegoro.
Pada 28 Maret 1830, setelah mengalami serangkaian kekalahan, Pangeran Diponegoro akhirnya tertangkap oleh Jenderal De Kock di Magelang dalam sebuah perundingan yang berujung pengkhianatan. Meski mengetahui dirinya telah dijebak, Diponegoro tidak melakukan perlawanan.
Setelah penangkapannya, ia dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta), kemudian diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara. Pada 1834, ia dipindahkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya hingga wafat pada 8 Januari 1855. Makamnya di Makassar kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi masyarakat untuk mengenang jasa-jasanya.
Pangeran Diponegoro diakui sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. Meski perlawanan yang dipimpinnya tidak berhasil mengusir Belanda dari Jawa, semangat juang dan keberaniannya menjadi inspirasi bagi generasi penerus dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perang Diponegoro adalah simbol kekuatan rakyat dalam melawan penindasan, dan kisah heroiknya akan terus dikenang sepanjang masa.